MAKALAH
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN HIV /AIDS
Diajukan Untuk Memeuhi Salah Satu
Tugas
Mata Kuliah
Maternitas
Disusun
Oleh :
-Dadan
Suhendar
-Nita
Mulyana
-Atik
Suharti
-Yopan
Bagus G
-Yustika
Rusminanti
AKPER YPIB MAJALENGKA
2012
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” Asuhan Keperawatan Pada
Ibu Dengan HIV/AIDS “. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok mata kuliah maternitas program
study D3 Keperawatan AKPER YPIB Majalengka.
Selain itu, penyusun
menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh
karena itu dimohon kritik dan sarannya.
Majalengka, Maret 2012
penyusun
DAFTAR
ISI
|
|
Hal
|
KATA
PENGANTAR
|
.............................................................................................
|
i
|
DAFTAR
ISI
|
..............................................................................................
|
ii
|
|
|
|
BAB
1 PENDAHULUAN
|
|
|
1.1 Latar Belakang
|
............................................................................................
|
1
|
1.2 Tujuan Penulis
|
............................................................................................
|
2
|
1.3 Perumusan Masalah
|
............................................................................................
|
2
|
|
|
|
BAB
II PEMBAHASAN
|
|
|
2.1 Pengertian
|
.............................................................................................
|
4
|
2.2 Epidemiologi
|
.............................................................................................
|
6
|
2.3 Etiologi
|
.............................................................................................
|
7
|
2.4 Pathogenesis
|
.............................................................................................
|
8
|
2.5
Manifestasi Klinis
|
.............................................................................................
|
14
|
2.6 PemeriksaanDiagnostik
|
.............................................................................................
|
15
|
2.7 Penatalaksanaan
|
.............................................................................................
|
17
|
2.8 Pencegahan
|
.............................................................................................
|
22
|
2.9
Asuhan Keperawatan
|
.............................................................................................
|
25
|
|
|
|
BAB III PENUTUP
|
|
|
3.1 Kesimpulan
|
.
............................................................................................
|
31
|
3.2 Saran
|
....
............................................................................................
|
31
|
|
|
|
DAFTAR PUSTAKA
|
.... ............................................................................................
|
32
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami
yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan
ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester
pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan berkurang dan
kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis
wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS[1].
HIV/AIDS adalah topic yang sangat
sensitive dan lebih banyak sehingga banyak penelitian melibatka anak-anak yang
rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan untuk memastikan bahwa
keluarga akan merasa baik [2].
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan
tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah
diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan
infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di
Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada
tahun 1983[3].
Acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian yang terkemuka di kalangan
perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother
To Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIVpada anak yang paling
signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT
termasuk pilihan persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi
antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika
intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2% [4].
Orang-orang yang terinfeksi positif
HIV yang mengetahui status mereka mungkin dapat memberikan manfaat.
Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko membawa HIV
sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan
yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan
reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk
melakukan tes HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka
mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang
telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV[5].
Komunikasi seksualitas antara orangtua
dan anak telah diidentifikasi sebagai factor pelindung untuk seksual emaja dan
kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV. Meningkatkan kesehatan seksual dan
reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan untuk
menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan
penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas
memiliki potensi untuk memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma
dan niat, meskipun mengubah perilaku seksual sangat terbatas[6].
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit
kronis memiliki implikasi di semua pengaturan perawat klinis. Setiap perawat
harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus memiliki pengetahuan tantang
pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam rangka
untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan
atau berisiko untuk HIV.
1.2 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar
mahasiswa dapat :
a. Memahami
tentang penyakit HIV/AIDS
b. Mengetahui bagaimana epidemiologi HIV/AIDS
c.
Mengetahui etiologi pada HIV/AIDS
d.
Memahami patoghenesis pada HIV/AIDS
e.
Memahami manifestasi
klinis pada HIV/AIDS
f.
Mengetahui cara pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS
g.
Memahami pengobatan HIV/AIDS
h.
Mengetahui pencegahan HIV/AIDS
i.
Mengetahui prognosis pada
HIV/AIDS
j.
Mengetahui asuhan
keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS
1.3 Perumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
a.
Apa
pengertian HIV/AIDS ?
b.
Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS)?
c.
Bagaimana etiologi pada HIV/AIDS?
d.
Bagaimana patoghenesis pada HIV/AIDS?
e.
Bagaimana
manifestasi klinis pada HIV/AIDS?
f.
Bagaimana
pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS?
g.
Bagaimana pengobatan HIV/AIDS?
h.
Bagaimana pencegahan HIV/AIDS?
i.
Bagaimana prognosis pada HIV/AIDS?
j. Bagaimana
asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan
HIV/AIDS?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Human
immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan
tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama
infeksiberlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan
orang menjadi
lebih rentan
terhadap infeksi.
Tahap yang lebih
lanjut dari infeksi HIV adalah acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal
inidapat memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga
berkembang menjadiAIDS; obat antiretroviral
dapat memperlambat
proses lebih
jauh.HIV ditularkan melalui
hubungan seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang
terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinyaselama
kehamilan, melahirkan dan menyusui[8]
Kehamilan adalah keadaan mengandung
embrio atau fetus didalam tubuh, setelah penyatuan sel telur dan spermatozoon.
Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara
dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut
kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin
melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan
tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency
Virus) (Fogel, 1996)[9].
Menurut laporan CDR (Center for
Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa jumlah wanita penderita AIDS di
dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80% penderita
AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV pada
ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu
hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena[10].
Wanita
usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur
yang lebih muda, dalam arti bahwa usia
muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada usia di atas
45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli
kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk
hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa
prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang
Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS perlu diwaspadai karena
cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].
Kehamilan merupakan usia yang rawan
tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi melalui
hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara
berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar
rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih
rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human
Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.
Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka
yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil International
Microbicides Conference 2010, abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV
selama kehamilan adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena
penyebab biologis yang tidak diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV
(Human Immunodeficiency Virus) dan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di Afrika dan Asia.
Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80%
penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama
penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui
plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal
berkisar antara 13-48%[12].
Pada
pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki
otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah
diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi
pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu
diberi kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko
penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil,
rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kerahasiaan
perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal ini
diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada
pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan
dokter. Tentulah dalam memabuka rahasia
ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan
kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya[12].
Untuk
pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan salah
satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan
pelayanan tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat
hidup lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter
dengan HIV positif tidak perlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi
harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko,
seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan
alat-alat yang digunakan[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh
transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu dengan AIDS menimbulkan dilema,
yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi
vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin lebih
dari 80%. Antibodi ibu melewati
plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat
menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer
(polymerase chain reaction, PCR) yang
mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang
terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya[13].
2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan
telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta
orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang
bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI sampai
dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan
oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada
dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada
penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan
hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa
dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200
penderita HIV yang belum diketahui[2].
Sampai saat ini obat dan vaksin yang
diharapkan dapat membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum
ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah
penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua
pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi
yang memungkinkan dapat terserang HIV[2].
Epidemi HIV
di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut
sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita
penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya
Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini
disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak steril
dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah
menular lebih jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual
berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua
menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic[14].
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini
tergambar dari laporan Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun
2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko
tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV
berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria[14].
Situasi epidemi HIV juga tercermin
dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2006.
Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi
HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang
jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta.
Sekalipun jumlah sub-populasinya paling besar namun kontribusi pelanggan belum
sebanyak penasun dalam infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil
estimasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang
jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun
sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%[12].
Prevalensi HIV-AIDS menurun
dikalangan wanita hamil pendapat ini berdasarkan hasil survey di daerah
perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata
prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada
tahun 2003. Di wilayah India prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil
masih rendah di daerah miskin padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar
Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan angka penularan relatif kecil dapat
berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah tersebut dihuni oleh
seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan
dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan selatan India[12].
Namun
data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV dikalangan
wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh
wanita yang mengunjungi klinik bersalin
yang positif terinfeksi HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi adalah
dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang
diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi
30% dikalangan wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di
wilayah Botswana, Lesotho, Nambia dan Swaziland[10].
2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada
tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV[3].
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai
sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat
tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat
aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut[3].
` Secara mortologis HIV terdiri atas 2
bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian
inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid).
Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri
atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan
reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan
panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan
berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva,
semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel
monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak[3].
2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang
ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina, dan ASI. Cara penularan
telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual hubungan
seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan
menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun
2007 diperkirakan 33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang
meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu
akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka karena AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu
diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang
membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman
(port’d entrée)[3].
Transmisi human immunodefiency virus
(HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh (misalnya darah, semen,
peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun selular menandai sindrom
immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah didokumentasi
dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui[16].
Begitu
HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini
disertai viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala
meliputi demam, malaise, mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan
dapat menetap selama dua sampai tiga minggu[16].
Virus HIV sampai saat ini terbukti
hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV
sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa
virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan
tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina
atau servik dan darah penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara
penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah
melalui[3]:
1. Transmisi Seksual
Penularan
melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung
pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.
Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat
anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia
barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual
yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini
sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami
pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur
seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan
berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat
juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang
dari 1%.
- Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi
atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah
tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena
darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV
lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi
Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko
rendah.
PENULARAN
HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA
Penularan HIV ke ibu bisa akibat
hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau hommoseksual), pemakaian
narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama
penggidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat
kesehatan yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC
penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang terbesar
adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita heteroseksual 34%,
dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].
Cara penularan virus HIV-AIDS pada
wanita hamil dapat melalui hubungan seksual. Salah seorang peneliti
mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke isterinya
sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif
menjadi positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari
isteri ke suami dianggap sama[10].
Penularan
HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui hubungan
seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS
sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko
penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 %
sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada gejala AIDS kemungkinan
bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada
ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].
Penularan
juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama
persalinan bisa dicegah dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi
selama periode post partum melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari
ibu yang positif sekitar 10%[17].
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh
heteroseksual. Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui kontak langsung
dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan
terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi
genetik RNA. Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka
RNA diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus[10].
Penularan
secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada periode intrapartum
atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24
minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara
vertikal terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat
intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi serviks dan darah ibu
meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis, dan
adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for
Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya
luka-luka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai
reseptor untuk menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut dan
selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran darah[10].
Perubahan
anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus, serviks
dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya
elastisitas dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi,
kongesti, udem pada trimester pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun
lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini juga merupakan media untuk
masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara pasangan yang
salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan seksual
dengan tidak menggunakan kondom[10].
Peneliti
lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV heteroseksual
dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi
sifilis atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga
terjadi kerusakan membran mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung
dengan jaringan yang mengalami inflamasi[10].
PERIODE
PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil
diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan
pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan ini jika wanita dan
bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang berada pada
kategori infeksi HIV meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi
tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan
obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara
tahun 1987 dan 1985;
5. setiap
wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan
ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada wanita berisiko tinggi
pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil negative pada
pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya
akan negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat
menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis, hepatitis B, Micobacterium
tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal kronis),
sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita
AIDS mengalami peningkatan titer[16].
Beberapa ketidaknyamanan prenatal
(mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan berat badan. Menyerupai tanda dan
gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat kehamilan dan gejala
infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi penurunan
berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama
lebih dari satu bulan, dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari
satu bulan[16].
Untuk menyokong sistem imun wanita
hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi optimum, tidur, istirahat, latihan
fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV didiagnosis, wanita diberi
penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih aman. Penggunaan
kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV
lebih jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan sumber infeksi. Hubungan
seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama penting ialah merujuk wanita
tersebut menjalani rehabilitasi untuk menghentikan penyalahgunaan substansi.
Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain mengganggu sistem imun tubuh dan
meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait[16]:
1. sistem imun
tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
2. alcohol dan
obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk AIDS
3.
dan
obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung
terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau
meningkatkan pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan
penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur, yang membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV
berkembang dengan pesat sejak virus tersebut ditemukan. Obat primer yang
disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-3’-deoksitimidin (zidovudin,
AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi
infeksi HIV, penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek
mutagenic atau toksik potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada
beberapa penelitian terkendali pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel
T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti secara signifikan
mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya[16].
PERIODE
INTRAPARTUM
Perawatan
wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi asimptomatik
HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan
obstetric karena virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan[16].
Focus
utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga
keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah,
cairan amniotic, dan sekresi vagina ibunya[16].
Pemantauan
janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan diperlukan.
Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel darah
dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala
janin. Selain itu, individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko
tertusuk jarum pada jarinya[16].
PERIODE
PASCAPARTUM
Hanya
sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan,
follow-up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi
pada ibu yang anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan
pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka[16].
Terlepas
dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan cara yang
peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu[16].
Bayi
baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya,
sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke
tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait[16].
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala dari infeksi akut HIV terjadi
sekitar 50% kepada seseorang yang baru terinfeksi. Gejala yang ditimbulkan
adalah[6]:
·
Demam
·
Malaise
·
Ruam
·
Myalgia
·
Sakit kepala
·
Meningitis
·
Kehilangan
napsu makan
·
Berkeringat
Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]:
·
Infeksi
bakteri berulang
·
Candidiasis
di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus
·
Herpes
simpleks kronis
·
Kaposi
sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik dan ditandai
dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada ekstremitas
bawah yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar ke daerah yang lebih
proksimal)
·
Pneumoncystis
·
Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita
hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau orang dewasa. infeksi HIV
memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar,
mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada
gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi,
bahkan dapat lebih lama lagi[15].
Banyak orang
yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa sehat dan
juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain[15].
Kelompok
orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu[15]:
1. kelompok
yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. pada
tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV
disebut window period yang memerlukan
waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok
yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa
gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan
klasifikasi infeksi HIV pada
orang dewasa sebagai berikut[6]:
·
Kelompok I: infeksi akut
·
Kelompok II: infeksi asimptomatik
·
Kelompk III: Infeksi Limpadenopati
Generalisata Persisten (LGP)
·
Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.
2.6 Pemeriksaan
Diagnostik
`Tes-tes saat
ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat menunjukkan tes
negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan prosedur
siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi vs.ibu[18]:
·
Hitung darah
lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi baru lahir
tetapi memberikan data dasar imunologis.
·
EIA atau
ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
·
Kultur HIV
(dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).
·
Tes reaksi
rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral pada
adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
·
Antigen p24
serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif dari
kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi
HIV)
·
Penentuan
immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA): Bukan
diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.
Diagnosis pada Bayi dan Anak
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa
saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal. Penyakit penanda AIDS
tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang
ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang,
kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan
lien)[17].
Karena
antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes
ELISA dan Western Blot akan positif
meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes
ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes
paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang
berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang
sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan
pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika
tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut
mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang
setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada
bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain[17].
Anak-anak
berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi
antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering
mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan
faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes
konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa
digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO[17].
CDC
mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit
CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan
berdasarkan derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B,
C, E). Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien
yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif,
sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini
tidak berubah walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau
factor lain[17].
Menurut Depkes RI (2003), WHO
mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan
anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila
sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan
pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak
sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarga[17].
Uji HIV pada
Wanita Hamil
CDC telah merekomendasikan skrining
rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil sejak tahun 2001. Banyak dokter telah
mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining HIV (yang berarti bahwa
pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara khusus memilih untuk tidak
di uji) pada wanita hamil selama tes
kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk konseling sebelum uji
dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh
Angkatan US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995
tingkat tes HIV di antara wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9
(dianjurkan dilakukan tes universal pada tahun pertama kehamilan) dan meningkat
menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian dan provinsi Kanada
yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara perempuan
hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83% dalam
keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan “opt-in” yang membutuhkan seorang
wanita untuk secara khusus meminta tes HIV[6].
Identifikasi
dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi
antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko penularan
bayinya. Tes HIV direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan untuk semua wanita
hamil pada kunjungan prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga
sebelum 36 minggu kehamilan, juga dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal
di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki tanda-tanda atau gejala yang
konsisten dengan infeksi HIV akut[6].
Jika seorang wanita yang berstatus
HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat persalinan dan melahirkan, tes
cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal positif, segera inisiasi ARV
profilaksis yang tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu
konfirmasi hasil. Jika wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima
pengujian cepat sesegera mungkin setelah lahir sehingga profilaksis
antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat indikasi[6].
2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang
signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian makanan untuk bayi telah
dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali
direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan bahwaantiretroviral
(ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar
HIVsecara signifikan dapat mengurangi
risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki
implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat
memberi makan bayi mereka, dan bagaimana
para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI
dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi
bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV[19].
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya
konsisten dengan panduan sebelumnya, mereka mengakui dampak penting dariARV
selama masa menyusui, dan merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap
negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti menyusui yaitu
dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindari menyusui,
harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal
ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan
untuk memberikan nasihat secara
individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan
pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara
untuk pemberian makanan bayinya[19].
Dimana otoritas nasional
mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu
yang diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi
mereka setidaknya sampai usia 12 bulan.
Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali jikadapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS) [19].
Pemberian antiretroviral bertujuan
agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan
tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk negara
berkembang adalah Nevirapine, pada
saat ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa
diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang
bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36 minggu 2x300mg/hari
dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung [17].
Intervensi
Terapetik Antiretrovirus
Terapi yang sekarang berlaku
menghadapi masalah membidik berbagai harapan dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan
replikasi virus, memanipulasi gen virus untuk mengendalikan produksi protein
virus, membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua
pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA HIV serum, digunakan
sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu
yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel T CD4+
memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang, sedangkan
kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung
sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x104)
dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi
antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T CD4+. Pengukuran serial kadar RNA
HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk mengetahui laju perkembangan
penyakit, angka pergantian virus, hubungan antara pengaktivasian sistem imun
dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat antiretrovirus
disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV[20].
Tujuan utama terapi antivirus adalah
penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihan atau
pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan
pengurangan morbiditas an mortalitas HIV[20].
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV[20]
1. replikasi
HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun rusak dan berkembang
menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan kesintasan jangka-panjang sejati
yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat jarang terjadi.
2. Kadar RNA
HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan berkaitan dengan laju
destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV, perlu dilakukan
pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+ untuk
menentukan factor risiko perkembangan penyakit serta mengetahui saat yang tepat
untuk memulali atau memodifikasi regimen terapi antiretrovirus
3. Karena laju
perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang terinfeksi HIV, maka
keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per orang berdasarkan
tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T
CD4+.
4. Pemakaian
terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi HIV dibawah
kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang
sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya varian-varian HIV
resisten-penyakit. Karena itu, tujuan terapi seyogyanya adalah penekanan
replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.
5. Cara paling
efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama dalah pemberian
secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah
diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang dengan obat
antiretrovirus yang pernag diterima oleh pasien.
6. Setiap obat
antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus selalu
dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
7. Jumlah dan
mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia masih terbatas,
karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat spesifik.
Karena itu, setiap perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan
pembatasan-pembatasan terapetik di masa mendatang.
8. Perempuan
harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa memandang status kehamilan.
9. Prinsip
terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan dewasa yang
terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV memerlukan
pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
10. Individu
yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi
antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas
deteksi pemeriksaan –pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu
yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah batas yang
dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian, para pasien
harus diberi penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan penyalahgunaan
obat yang berkaitan dengan penularan atau akuisisi HIV dan pathogen menular
lainnya.
Tabel 1. Rekomendasi untuk
pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama kehamilan[21]
Rekomendasi
|
Kelas Obat
|
||||
NRTI
|
NNRTI
|
Protease inhibitor
|
Entry inhibitor
|
Integrase inhibitor
|
|
Direkomendasikan
|
Zidovudine, lamividine
|
Nevirapinea
|
Lopinavir/ritonavir
|
...
|
...
|
Agen Pengganti
|
Didanosine,b
emtricitabine, stavudine,b abacavir
|
...
|
Indinavir, ritonavil, saquinavir
hard gel capsule, nelvinafire
|
...
|
...
|
Ketidakcukupan Data
|
Tenofovir
|
...
|
Atazanavir, darunavir, fosamprenavir,
tipranavir
|
Enfuvirtide, maraviroc
|
Raltegravir
|
Tidak Direkomendasikan
|
...
|
Efavirenz, delavirdine
|
...
|
...
|
...
|
Catatan. NNRTI,
nonnukleoside reverse-transcriptase inhibitor; NRTI, nukleoside
reserve-transcriptase inhibitor.
a Sebaiknya
hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 > 250sel/mm3
jika manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan dengan
hepatotoxicity.
b Didanosine
dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi lainnya
Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan
dan Regimen yang Dihindari
Obat yang direkomendasikan yaitu
zidovudine (ZDV) yang menjadi bagian dari beberapa regimen untuk pengobatan
wanita hamil, kecuali terdapat dokumentasi riwayat keparahan ZDV-berhubungan
dengan toksisitas atau resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan
ZDV atau resisten, regimen sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral
yang melewati plasenta untuk memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat
antiretroviral lainnya yang melewati plasenta manusia termasuk didanosine,
lamivudine (3TC), tenofovir, nevirapine (NVP), dan lopinavir. Beberapa dari
inhibitor protease juga memiliki variabel yang sedikit ke bagian plasenta[21].
Ketika
memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi regimen
antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada umumnya, prinsip
pedoman pengobatan untuk wanita yang tidak hamil sebaiknya benar-benar
dipertimbangkan. Harus terdapat dua kekuatan inhibitor nukleosida
reverse-transkriptase dengan inhibitor nonnukleosida reverse-transkriptase atau
inhibitor pratease yang cocok (tabel 1). Efavirenz pada umumnya dihindari
selamas trimester pertama kehamilan karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak
direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel CD4 >250 sel/mm3
karena meningkatkan risiko terjadinya ruam dan hepatotoksik. Tetapi jika si
wanita telah toleransi terhadap NVP- terdiri dari regimen sebelumnya saat
kehamilan, regimen ini sebaiknya dilanjutkan selama kehamilan[21].
Kombinasi
dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama kehamilan karena
berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat. Pada
umumnya, monoterapi sebaiknya dihindari selama kehamilan karena berpotensi
dalam menyebabkan perkembanagan resistensi antiretroviral. Pengobatan ZDV
intravena intrapartum direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV
kecuali terdapat riwayat hipersensitif terhadap ZDV[21].
Yang
paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT merupakan
uji umum HIV dari seemua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang
berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang, terapi
kombinasi antiretroviral direkomendasikan selama masa kehamilan tanpa
memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah virus untuk menurunkan risiko
penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi caesar direkomendasikan untuk wanita
hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000 kopi/ mL. Di United States dan
negara berkembang lainnya, hindarkan pemberian air susu direkomendasikan untuk
menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumber- negara
terbatas, penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen antiretroviral
juga berperan dalam mengurangi transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk
infeksi maternal dalam kehamilan, dan perawatan untuk janin akan sukses dengan
pendekatan multidisiplin untuk merawat wanita hamil yang terinfeksi HIV[21].
Keterangan
untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS[23]:
3TC (nama dagang)
Lamivudine 150 mg
Indikasi: pengobatan HIV pada dewasa dengan progresive
immunodefeciency dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral,
infeksi HIV pada anak-anak (umur 3 bulan) dengan progresif immunodefeciency
dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan retrovir
Norvir (nama dagang)
Ritonavir
Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi,
termasuk mual, muntah, diare, anoreksia, nyeri abdomen, gangguan pengecapan,
prestesis perifer dan sirkum oral
Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg
Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi
dengan obat antiretroviral lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa
atazanavir, kombinasi dengan midazolam, dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin,
metilergonovin, cisapride, dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah,
diare, nyeri abdomen, pusing, insomnia, gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi)
sehari 1 x 400mg, dewasa (pasien yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x
300mg, pasien ditambah dengan ritnovir sehari 1 x 100mg + efavirenz.
Pengobatan
untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat anti-HIV dimana
menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin
dengan cara penggunaan sebagai berikut[23]:
·
selama
kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan anti-HIV sedikitnya tiga
anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).
·
selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine) IV, kemudaian diberikan
anti-HIV yang lain melalui mulut.
·
setelah
melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu.
2.8 Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa
dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah
lahir yaitu[17]:
-
Penggunaan
antiretroviral selama kehamilan
-
Penggunaan
antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
-
Penatalaksanan
selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV
memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut hingga 10 sampai 18 bulan
setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena itu,
uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal
yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody
ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti
memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap
virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat
diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24,
atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik
yang dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa
neonatus[20].
Selama ini, mekanisme penularan HIV
dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti. Angka penularan
bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak diobati
di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di
negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi
HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran.
Penularan pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan
menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan
peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus
dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994,
studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan
bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi
penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika
Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun
1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan
terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di
Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan
Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain
pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil,
tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV
ibu kepada anak antaea lain[20]:
1. seksio
sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2. pemberian
zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian
sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak
memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan
penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada
anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu median sampai
awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas
penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem
klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada
sistem ini, anak yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori
berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status klinis, dan status
imunologik[20]
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan
dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada anak sering terjadi disfungsi sel
B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem
imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh
pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak
seperti otitis media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi
pernapasan, penyakit GI, dan penyakit lain[20].
Seluruh
dunia, pada 2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000]
infeksibaru karenahuman immunodeficiency virus(HIV) terjadi pada anak-anak,
yang 90% diperolehmelaluimotherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi
baru, antara280dan 360.000.000 diperolehselama
persalinan danpada periodepra-melahirkan. Dari infeksi
baruyang tersisa,sebagian besardiperolehselama menyusui.Padabayi yangterjangkit
HIVselama waktu persalinan, perkembangan penyakitterjadi sangat cepatdalam
beberapa bulanpertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk
mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus diberikan kepada bayi sesegera
mungkin setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus
diketahui sejak lahir[24].
Data
terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup
dramatis bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah
diagnosis HIV, diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) pedoman
pengobatan pediatrik. PadaJuni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang
merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV.
Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera,
konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008,
pertemuandiadakan untukmeninjaurekomendasioleh WHOuntuk
pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada bayidan anak-anak[24].
Asuhan Keperawatan
I.Pengkajian.
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan. 3.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan. 3.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun,
nyeri, sulit tidur. 4.Psikososial
: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas,
meringis.
5.Status mental : marah
atau pasrah, depresi, ide bunuh
diri, apati, withdrawl, hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau
6.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau
mulut, mulut kering, suara berubah,
disfagia, epsitaksis.
7.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk,
7.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
8.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia,
11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
12.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
II.Diagnosa keperawatan
1.Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan imunosupresi,
malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat
ditransmisikan.
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
III.Intervensi keperawatan.
Diagnosa keperawatan 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Diagnosa keperawatan 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Intervensi
Keperawatan :
1.Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan
tindakan.
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional
1.Untuk
pengobatan dini
2.Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit. 3.Mencegah bertambahnya infeksi 4.Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan 5.Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan
2.Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit. 3.Mencegah bertambahnya infeksi 4.Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan 5.Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan
kriteria
hasil
komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi
oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa 2 Resiko tinggi
infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat
ditransmisikan.
Intervensi
1.Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Rasional
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Rasional
1.Pasien dan
keluarga mau dan memerlukan informasikan ini 2.Mencegah
transimisi infeksi HIV ke orang lain
Kriteria
Hasil :
Infeksi HIV tidak ditransmisikan,
tim kesehatan memperhatikan universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak
terinfeksi patogen lain seperti TBC.
Diagnosa 3
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Rasional
:
1.Respon bervariasi dari hari ke hari
2.Mengurangi kebutuhan energi
3.Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Kriteri
Hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan,
dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic,
dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Intervensi :
1.Monitor
kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Monitor BB, intake dan ouput
3.Atur antiemetik sesuai order
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
2.Monitor BB, intake dan ouput
3.Atur antiemetik sesuai order
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Rasional :
1.Intake menurun dihubungkan dengan nyeri
tenggorokan dan mulut
2.Menentukan data dasar
3.Mengurangi muntah
4Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
2.Menentukan data dasar
3.Mengurangi muntah
4Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
Krtiteria
Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang
adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah
dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB
mendekati seperti sebelum sakit.
Diagnosa 5
Diare
berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Auskultasi bunyi usus
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Auskultasi bunyi usus
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Rasional
1.Mendeteksi adanya darah dalam feses 2..Hipermotiliti mumnya dengan diare
3.Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal 4.menghilangkan distensi
1.Mendeteksi adanya darah dalam feses 2..Hipermotiliti mumnya dengan diare
3.Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal 4.menghilangkan distensi
Kriteriaa
hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi
minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna
normal, kram perut hilang,
Diagnosa 6
Tidak efektif koping
keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang
orang dicintai.
Intervensi :
1.Kaji
koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
Rasional :
1.Memulai
suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
2.Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3.Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
2.Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3.Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
Krtiteria
Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport
sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien
dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstrukt
IV.
Implentasi
DX. 1
1.Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2.Menggunakan teknik aseptik
pada setiap
tindakan invasif. Cuci tangan sebelum
meberikan tindakan.
3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
DX.2
1.Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan
kuman patogen lainnya.
2.Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
2.Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
DX.3
1.Memonitor
respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
2.Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
DX.4
1.Memonitor
kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Memonitor BB, intake dan ouput
3.Mengatur antiemetik sesuai order
4.Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
2.Memonitor BB, intake dan ouput
3.Mengatur antiemetik sesuai order
4.Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
DX.5
1.Mengkaji
konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Mengauskultasi bunyi usus
3.Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
2.Mengauskultasi bunyi usus
3.Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
DX.6
1.Mengkaji
koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
2.Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
V. Evalusi
Setelah di berikan asuhan
keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit demi sedikit terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit
retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus
berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai
kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual,
penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi
darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut.
3.2
Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna
bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaan
berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartati
Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
2. Doku Paul
Narh. Parental HIV/AIDS status and death,
and Children’s Phychological Wellbeing. International Journal of Mental
Health system 2009;3(26):1-8
3. Siregar FA.
Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas Sumatera Utara, 2004.
4. Heemanides
HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D, Gerard VO, et all. Developinh
quality indicators for the care of HIV-infected pregnant women in the Dutch
Caribbean. Aids Research and Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
5. Wamoyi J,
Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes
in sexual desires and behaviours of people living with HIV after initiation of
ART: Implications for HIV prevention and health promotion. BMC Public
Health 2011; 11(633): 1-11.
6. Bradley-Springer
L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV
Nurse. AJN 2010;110(3):33-39.
7. Bastien S,
LJ Kajula, WW Muhwezi. A review of
studies of parent-child communication about sexuality and HIV/AIDS in
sub-Saharan Africa. Reproductive Health 2011;8(25):1-17.
8. Anonymous.
HIV/ AIDS. WHO. 2010
9. Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC.
10. Isselbacher,
Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison: Prinsip- Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.
11. Walter J,
Linda F, Melanie JO, William DD, Theresa G, Alice S, et all. Immunomodulatory factors in cervicovaginal
secretions from pregnant and non-pregnant women: A cross-sectional. BMC Infectious
Disease 2011; 11(263): 1-7.
12. Anonymous. 2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS
di Indonesia 2007-2010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
13. Susanti NN.
Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
14. Hanafiah MJ,
Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. EGC: Jakarta. 2007.
15. Hartati N,
Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan. 2009:2:1.
16. Bobak,
Lowdermik, Jensen. 2005. Buku Ajar
Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC.
17. Nursalam,
Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
18. Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi
Edisi 2. Jakarta: EGC.
19. Anonymous.
Guidelines on HIV and infant feeding 2010 Principles and recommendations for
infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence. WHO. 2010.
20. Price SA,
Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
21. Anderson Brena L, Uvin Susan Cu.
Pregnancy and optimal care of HIV-Infected
Patients. Clinical Infectious Diseases, 2009; 48: 449-55.
22. Anonymous. 2010. HIV and Pregnancy: anti-HIV
medications for Use in Pregnancy. AIDS info: A service of
the U.S. Department of
Health and Human Service.
23. Anonymous. 2009. ISO indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
24. Anonymous.
2010. WHO
recommendations on the diagnosis of HIV infection in infant and children. WHO.
25. Trsetianingsih
Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES A. Yani.
26. Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and
Classification 2009-2011. 2009. United States of America: Mosby Elsevier.
27. Moorhead S, Johnson M,
Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. United States of
America: Mosby Elsevier.
28. Bulechek GM, Butcher
HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions Classification (NIC) Fifth
Edition. United
States of America: Mosby Elsevier.
2 komentar:
terima kasih infonya
Makalah Manajemen Keperawatan Controling
Makalah Gastritis enteritis dan Kolitis
Laporan Pendahuluan Keperawatan ADHF
Makalah Manajemen Keperawatan Controling Makalah Gastritis enteritis dan Kolitis
Laporan Pendahuluan Keperawatan ADHF
sekolah stikes
Posting Komentar